TEMPO.CO, Jakarta-
Mulai besok pengusaha beromzet maksimal Rp 4,8 miliar akan dikenakan
pajak yang bersifat final sebesar 1 persen. Ketentuan ini diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto tertentu.
Kepala Sub Direktorat
Peraturan Perpajakan 2 Pajak Penghasilan dan Pajak Penghasilan Orang dan
Perorangan Kementerian Keuangan, Goro Ekanto, mengatakan, latar
belakang dikeluarkannya peraturan ini dipicu oleh masih rendahnya
penerimaan pajak dari sektor Usaha Kecil dan Menengah.
"Pembayaran
pajak sangat kecil, hanya 0,7 persen sementara kontribusi UMKM ke
perekonomian Indonesia sangat besar yakni 57,94 persen," ujarnya dalam
keterangan pers di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jumat lalu.
Goro
melanjutkan, peraturan ini bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada
Wajib Pajak dalam melaksanakan pemenuhan kewajiban pajaknya. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik, jumlah UMKM diperkirakan mencapai angka 60
juta. "Diharapkan dengan ini dapat meningkatkan partisipasi wajib pajak
yang kecil," tuturnya.
Adapun obyek pajak yang diatur dalam
beleid tersebut adalah usaha dengan penghasilan tdk melebihi Rp 4,8
miliar dalam 1 tahun. Sementara yang tidak termasuk yakni penghasilan
dari pekerjaan bebas. "Ada pengecualian untuk pedagang makanan keliling,
pedagang asongan, warung tenda di trotoar dan sejenisnya," kata Goro.
Juru
bicara Direktorat Jenderal Pajak, Kismantoro Petrus, menambahkan
potensi penerimaan pajak setelah dikeluarkannya peraturan ini belum
dapat diketahui. Ia menegaskan fokus DJP bukan pada potensi penerimaan.
"Tapi bagaimana kita berikan kemudahan bagi wajib pajak," ucapnya.
Pihaknya
mengaku telah melakukan sosialisasi melalui media massa juga bekerja
sama dengan Kementerian Koperasi dan UKM. Ditjen Pajak juga menggandeng
pemerintah daerah untuk membantu mensosialisasikan aturan tersebut.
Sebelumnya,
ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri menilai pajak UMKM ini
tidak mencerminkan keadilan sosial. ”Pajak untuk perusahaan besar belum
benar. Ini malah yang (perusahaan) kecil ditarik,” tuturnya.
Ia
juga mengkritik pemberlakuan pajak berdasarkan besar omzet penjualan.
“Itu jahat. Omzet kan belum tentu untung. Untung tidak untung berarti
harus bayar,” kata Faisal. Lagi pula, aturan tersebut bakal sulit
dilaksanakan karena tidak ada jaminan semua UKM punya sistem pembukuan
yang baik. Ia menyarankan menggunakan aturan pajak yang berlaku flat
seperti di Hong Kong.
RIRIN AGUSTIA